Menyelami nasib pakaian yang tidak lagi dipakai adalah pengalaman yang menyadarkan.
Organisasi lingkungan WRAP memperkirakan bahwa konsumen menempatkan hampir setengah dari semua limbah tekstil ke tempat sampah umum, dan merekomendasikan konsumen untuk memberikannya ke toko amal sebagai gantinya. Namun, bahkan melakukan hal yang “benar” bukanlah solusi yang lengkap. Hanya sekitar 10% hingga 30% pakaian yang disumbangkan ke badan amal berakhir dengan dijual di lantai pertokoan—dan 70% berakhir di tempat pembuangan sampah, sebagian besar di tempat pembuangan sampah informal atau di perairan, sering kali di negara-negara di belahan bumi selatan, termasuk Ghana, Kenya, Chili, dan Guatemala.
Industri mode turut serta dalam menegakkan dan memperkuat kolonialisme sampahgagasan bahwa mereka yang tinggal di negara-negara istimewa, terutama di belahan Bumi Utara, mengirim pakaian mereka yang tidak diinginkan ke luar negeri, terutama ke negara-negara di belahan Bumi Selatan. Akibatnya, ekonomi lokal telah berkembang, seperti di Ghana, di mana gadis-gadis muda dibayar sedikit untuk membawa bal pakaian dari importir ke kios-kios pasar, merusak tubuh mereka dalam prosesnya. Tempat pembuangan sampah ini juga sering dibakar, melepaskan asap berbahaya ke daerah setempat, dan memengaruhi pasokan air. Sementara itu, banyak dari pakaian ini diproduksi di negara-negara termasuk India, Pakistan, dan Bangladesh, dalam kondisi kerja yang sering kali berbahaya dan tidak adil, yang menunjukkan bagaimana, dalam kata-kata Barber, “mode cepat merugikan orang non-kulit putih di Global Selatan, baik di awal siklusnya maupun di akhir.”
Bagi warga di belahan bumi utara untuk menghindari pendekatan “jauh dari mata, jauh dari pikiran”, orang dapat berpikir dengan saksama tentang di mana pakaian mereka akan diletakkan. Tukar pakaian dengan teman, atau menjual pakaian di aplikasi peer-to-peer, adalah sebuah pilihan. Sebagai alternatif, lembaga amal Give Your Best mengambil pakaian yang kemudian dapat “dibeli” oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, yang mencari suaka atau baru saja kehilangan tempat tinggal, atau Dress For Success membantu perempuan yang tidak memiliki jaminan keuangan dengan pakaian untuk membantu mereka memasuki kembali dunia kerja.
Program “Pengambilalihan” harus dilihat dengan hati-hati. Dengan tempat sampah daur ulang di toko-toko merek besar yang terekspos sebagai greenwashing karena barang-barang yang masih layak pakai tidak disortir, tetapi malah “didaur ulang” (diubah menjadi isian furnitur atau sejenisnya). Ada juga laporan yang menunjukkan skema pengambilan kembali sudah mengirim pakaian ke tempat pembuangan sampah atau gudang merek selama berbulan-bulan. Pelajaran yang dapat dipetik mungkin adalah untuk membeli dengan hati-hati dan berkomitmen—bahkan saat barang berharga mencapai akhir masa pakainya, kita dapat memikirkan kegunaan lain untuknya, misalnya dengan mengubahnya menjadi barang rumah tangga.