2 Juli 2024
JAKARTA – Indonesia menyaksikan indeks manajer pembelian (PMI) manufakturnya turun ke level terendah dalam 13 bulan pada bulan Juni karena perusahaan mencatat tingkat pertumbuhan yang lebih lambat baik untuk pesanan baru maupun output.
Itu PMI oleh S&P Global Laporan yang diterbitkan pada hari Senin, berdasarkan survei terhadap eksekutif pembelian dari sekitar 400 perusahaan manufaktur untuk menentukan kondisi bisnis, menunjukkan bahwa PMI Indonesia turun 1,4 poin menjadi 50,7 pada bulan Juni, terendah sejak Mei 2023.
Angka Juni 2024 masih menandai perluasan aktivitas pabrik untuk 34 negarath bulan berturut-turut, sebagaimana ditunjukkan oleh skor di atas ambang batas 50 poin yang memisahkan ekspansi dari kontraksi.
“Terjadi penurunan momentum yang signifikan di sektor manufaktur Indonesia pada bulan Juni, dengan pertumbuhan pesanan baru hampir terhenti karena ekspor turun selama empat bulan berturut-turut,” kata Trevor Balchin, direktur ekonomi di S&P Global Market Intelligence, dalam sebuah pernyataan pada hari Senin.
“Prospeknya mengkhawatirkan, dengan Indeks Output Masa Depan tidak berubah dari level bulan Mei dan termasuk yang terendah yang pernah tercatat,” katanya.
Baca juga: Rupiah melemah, harga minyak tinggi memukul sektor manufaktur RI
Menurut laporan S&P Global, produksi tumbuh lebih cepat daripada pesanan baru pada bulan Juni, menyebabkan antrean pesanan turun untuk pertama kalinya sejak November lalu. Stok barang jadi juga turun untuk pertama kalinya sejak Januari, dan pada tingkat tertajam sejak Juli 2022.
Stok input juga terus meningkat, tetapi pada tingkat paling lambat sejak November 2022, dengan produsen lokal melaporkan kenaikan harga bahan baku karena depresiasi rupiah terhadap dolar AS dan harga solar yang lebih tinggi.
Laporan itu juga mencatat bahwa keyakinan yang lebih rendah pada pesanan masa depan membatasi ketenagakerjaan pada bulan Juni, sehingga relatif tidak berubah dari bulan sebelumnya.
“Arah (indeks) mengarah pada penurunan langsung dalam pesanan baru di awal paruh kedua tahun ini, yang akan menjadi kontraksi kedua sejak pertengahan 2021,” kata Balchin.
Baca juga: BI: Kekhawatiran kebijakan fiskal pemerintah mendatang menekan rupiah
Nilai tukar rupiah pada hari Senin diperdagangkan sekitar Rp 16.350 terhadap dolar AS, menurut data dari portal keuangan global Investing.com.
Meskipun mata uang tersebut telah bangkit kembali dari level terendah Rp 16.480 per dolar pada tanggal 20 Juni, mata uang tersebut gagal kembali di atas level psikologis Rp 16.000 per dolar sejak bulan Mei.
Meski demikian, Bank Indonesia (BI) menyatakan yakin rupiah akan kembali ke Rp 15.900 per dolar dalam jangka panjang, mengandalkan fundamental ekonomi negara yang solid.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperingatkan pada bulan April bahwa pelemahan rupiah yang berkepanjangan dapat memaksa produsen untuk memangkas volume produksi karena meningkatnya biaya overhead.
Dengan bahan baku dan bahan pembantu yang menyumbang 70 persen dari total impor dan barang modal 10 persen, industri manufaktur sangat rentan terhadap impor.