JAKARTA – Perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia kesulitan bersaing dengan pesaing asing yang kaya akan uang, dengan dua unicorn terbesar di negara ini, GoTo dan Bukalapak, mengalami penurunan valuasi secara signifikan pada tahun 2024.

Investasi pada perusahaan rintisan lokal juga melambat sekitar dua pertiga, dari sekitar US$3,5 miliar (S$4,8 miliar) per tahun pada tahun 2020 dan 2021, menurut laporan gabungan pada bulan November 2023 oleh dana ventura AC Ventures dan konsultan manajemen Bain & Company. Hal ini memberi tekanan lebih besar pada perusahaan lokal untuk berinovasi, berhenti membuang-buang uang, dan menjadi menguntungkan, kata para analis.

GoTo, dibentuk melalui penggabungan perusahaan transportasi daring Gojek dan raksasa e-commerce Tokopedia pada tahun 2021Bahasa Indonesia: telah melihat harga sahamnya turun 55 persen tahun ini. Saat ini bernilai 60 triliun rupiah (S$4,98 miliar) di Bursa Efek Indonesia.

Sementara e-commerce unicorn Bukalapak turun 33 persen sehingga kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 14 triliun.

Kedua perusahaan tersebut memiliki kinerja yang jauh lebih buruk pada indeks gabungan bursa yang lebih luas, yang telah menurun sekitar 4 persen pada tahun 2024. Persaingan ketat dari para pesaing regional mereka yang lebih besar serta inovasi yang lebih lambat sebagian besar menjadi penyebabnya, kata para ahli.

Pesaing utama seperti Shopee dan Grab dari Sea Limited memiliki akses terhadap pendanaan yang lebih luas, jangkauan regional, dan taktik yang lebih agresif.

Sea terdaftar di Bursa Efek New York dan memiliki kapitalisasi pasar sebesar US$43,6 miliar, sementara Grab bernilai US$14 miliar di Nasdaq.

“Dengan terdaftar di pasar Amerika, Anda bisa mengumpulkan US$1 miliar dengan relatif lebih mudah. Angka tersebut kecil jika dibandingkan dengan total kapitalisasi pasar di sana. Sedangkan untuk GoTo yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, ukuran tersebut merupakan nilai atas,” kata analis ekuitas senior Henry Pranoto.

Para pesaing ini juga dapat menggunakan uang tunai yang dihasilkan dari bisnis mereka yang menguntungkan lainnya untuk mendapatkan pangsa pasar di Indonesia. Induk Shopee, Sea, mengatakan pihaknya berkomitmen penuh untuk menggunakan anak perusahaan game globalnya, Garena, untuk mendanai strategi pembakaran uang untuk pasar e-commerce utamanya di Indonesia.

Sementara itu, Grab memanfaatkan pangsa GoTo di sektor layanan pemesanan kendaraan di Indonesia, dengan menggunakan dana cadangan dari pasar di luar Indonesia seperti Singapura, yang sudah beroperasi secara menguntungkan.

Kebutuhan terus-menerus untuk berinovasi juga merupakan kuncinya, kata para analis. Bukalapak, misalnya, telah membuat para investor terkejut karena hanya menyimpan uang tunai sebesar Rp 20 triliun dibandingkan menggunakannya untuk menarik pelanggan e-commerce baru.

“Ketidakmampuan untuk menyalurkan dana ke dunia usaha menunjukkan ketertinggalannya dalam hal teknologi dan inovasi,” kata seorang analis di bank investasi yang berbasis di Jakarta, BNI Sekuritas, yang menolak disebutkan namanya karena orang tersebut tidak berwenang untuk berbicara kepada media.

Ada juga yang salah langkah. Pada Januari 2022, Bukalapak menghabiskan US$81 juta untuk membeli 11,5 persen saham bank digital Allo Bank yang berbasis di Jakarta, namun peningkatan awal keuntungannya berubah menjadi kerugian yang belum direalisasi setahun kemudian. Upaya yang dimulai pada tahun 2020 untuk membuat ribuan toko serba ada di Indonesia menggunakan aplikasi Bukalapak untuk proses bisnis mereka juga gagal berjalan dengan baik.

Namun, menjadi inovatif bukanlah jaminan profitabilitas, seperti yang ditemukan oleh GoTo. Pada tahun 2015, mereka memperkenalkan GoSend, yang memasangkan pengemudi ride-hailing dengan pelanggan e-commerce Tokopedia yang ingin pesanan mereka dikirimkan secara instan.

Investor dana lindung nilai yang berkantor pusat di Jakarta, Leontinus Alpha Edison mengatakan: “Gojek adalah perusahaan transportasi daring pertama di dunia yang melayani pelanggan e-commerce.”

Karena kerugian yang berkepanjangan dan jalur yang tidak jelas menuju profitabilitas, GoTo baru-baru ini mengambil tindakan perampingan. Perusahaan ini telah memangkas lebih dari 1.000 karyawan dan melucuti unit-unit bisnis untuk memprioritaskan profitabilitas dibandingkan aspirasi sebelumnya untuk pertumbuhan tinggi.

Para pengamat mencatat bahwa tantangan yang dihadapi oleh kedua perusahaan unicorn awal di Indonesia ini menggarisbawahi permasalahan dalam lanskap startup teknologi di negara ini. Banyak perusahaan teknologi Indonesia yang gagal pada tahap awal, kata mereka, karena ketergantungan yang besar terhadap penyediaan layanan yang meniru, kurangnya inovasi teknologi, dan penawaran layanan yang permintaannya kurang.

Ekonom Wijayanto Samirin mengatakan mayoritas perusahaan teknologi didanai oleh investor yang jangka waktu investasinya berkisar antara lima hingga tujuh tahun. Setelah itu, perusahaan diharapkan memperoleh keuntungan dan mandiri secara finansial.

“Sektor teknologi Indonesia baru saja memasuki fase konsolidasi, ditandai dengan menurunnya jumlah pelaku usaha karena banyak yang tidak mampu bertahan akibat persaingan… Setelah fase ini berakhir, mereka yang mampu bertahan akan menikmati keuntungan besar,” tutur Bapak Wijayanto, yang pernah menjadi penasihat ekonomi mantan wakil presiden Indonesia Jusuf Kalla, kepada The Straits Times.

“Perusahaan yang bertahan harus melakukan efisiensi, memangkas biaya operasional, dan mengakhiri pemborosan uang tunai,” tegas Bapak Wijayanto. “Investor kini tidak lagi peduli dengan valuasi perusahaan dan lebih peduli dengan profitabilitas.”

Toko e-grocery yang berbasis di Jakarta seperti TaniHub dan Sayurbox – platform digital yang lahir di era Covid-19 yang menjembatani petani dan konsumen, sehingga menghilangkan perantara – kesulitan dengan arus kas mereka.

TaniHub, misalnya, gagal memenuhi pembayaran utangnya kepada kreditor setelah mereka membiayai petani yang berjanji akan menyerahkan hasil panennya namun gagal bayar.

Tn. Henry mengatakan kepada ST: “Perusahaan teknologi cenderung memberikan uang kepada petani yang membutuhkan uang tunai tanpa praktik peminjaman yang bijaksana seperti biasanya.” Ia menambahkan bahwa peran tersebut sebagian besar dilakukan oleh perantara lokal yang mengetahui petani mana yang jujur ​​dan dapat diberi pinjaman.

Ke depannya, perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia harus tetap gesit dan bergerak cepat, seiring dengan semakin ketatnya persaingan.

“Hadiah untuk memenangkan pasar Indonesia sangat besar. Mereka (perusahaan teknologi asing) menjadikan Indonesia sebagai medan pertempuran terakhir di Asia Tenggara dan menggunakan amunisi yang mereka kumpulkan di tempat lain untuk menguasai pasar Indonesia,” kata Henry.

East Venture yang berbasis di Jakarta, salah satu perusahaan modal ventura terkemuka di Indonesia, mengatakan kepada ST melalui email bahwa sektor digital di negara ini sedang memasuki siklus baru, setelah valuasi perusahaan rintisan naik dan mencapai puncaknya antara tahun 2020 dan 2021.

“Pada tahun 2022 hingga 2023, kita memasuki fase baru dimana terjadi kenaikan suku bunga terus menerus di AS, inflasi yang sulit dikendalikan, tekanan geopolitik… Jadi seluruh ekosistem teknologi secara global menghadapi tekanan,” tambahnya.

“Investor semakin berhati-hati dalam memberikan pendanaan. Namun, perlu diingat bahwa uang masih tersedia untuk perusahaan yang baik,” katanya.

Sumber