Laboratorium pengurutan genom lengkap (WGS) SARS-CoV-2 EQA

Laboratorium pengurutan genom lengkap (WGS) SARS-CoV-2 EQA (Kredit: Kementerian Kesehatan Indonesia)

Pada tanggal 6–7 Juni 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mitra nasional dan internasional menyelenggarakan pertemuan pemangku kepentingan di Jakarta, Indonesia untuk memperkuat kesiapsiagaan dan ketahanan terhadap ancaman kesehatan yang muncul (PRET), dengan fokus pada penyakit menular yang muncul (PIE). Pertemuan tersebut diikuti oleh lokakarya pelatihan pelatih selama lima hari tentang kesiapsiagaan rumah sakit terhadap PIE dan pertemuan nasional dengan tenaga kesehatan dari 36 provinsi tentang kerangka kerja operasional WHO untuk PRET.

Penyakit menular menular (EID) seperti MERS-CoV, flu burung, mpox, dan virus Nipah dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan wabah yang signifikan di satu atau beberapa negara di seluruh dunia. Sekitar 60% EID bersifat zoonosis, yang setiap tahun menyebabkan sekitar 1 miliar kasus penyakit dan jutaan kematian. Pada tahun 2023, Indonesia melaporkan beberapa kasus EID, termasuk COVID-19 dan mpox. Flu burung masih menjadi endemik di antara unggas di negara ini.

Peserta pertemuan pada tanggal 6–7 Juni tersebut meliputi perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, hadir pula anggota utama dari kelompok kerja pengawasan, perlindungan masyarakat, manajemen klinis, dan akses terhadap tindakan penanggulangan medis.

Empat peserta duduk mengelilingi meja bundar, berdiskusi dengan laptop dan mikrofon, sambil mencatat.

Sesi kerja kelompok selama pertemuan pemangku kepentingan tentang kesiapsiagaan dan ketahanan terhadap ancaman yang muncul (kredit: Kementerian Kesehatan Indonesia)

Pada hari pertama, para peserta membahas kerangka kerja operasional Indonesia saat ini untuk menangani PIB dan risiko patogen pernapasan yang berpotensi menjadi pandemi, yang dipandu oleh inisiatif WHO PRET. Diluncurkan pada tahun 2023, PRET mengakui bahwa sistem, kapasitas, pengetahuan, dan perangkat yang sama dapat diterapkan untuk kelompok patogen berdasarkan cara penularannya.

Pada hari kedua, para peserta berfokus pada penyebaran vaksin dan akses serta pengadaan tindakan penanggulangan medis. Kemudian dilanjutkan dengan serangkaian presentasi kelompok kerja tentang cara terbaik untuk beralih dari satu fase siklus kesiapsiagaan dan respons EID ke fase berikutnya, yang mencakup lima pilar utama: koordinasi darurat, pengawasan kolaboratif, perlindungan masyarakat, perawatan klinis, dan akses ke tindakan penanggulangan medis.

“Kolaborasi multisektoral merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas Indonesia dalam mencegah, mendeteksi, dan menanggapi potensi keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional,” kata dr. Achmad Farchanny Tri Adryanto, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Indonesia. “Oleh karena itu, mengadopsi dan mengadaptasi inisiatif WHO PRET sangatlah penting”.

Pertemuan pemangku kepentingan selama dua hari tersebut dilanjutkan dari tanggal 10–14 Juni dengan lokakarya pelatihan pelatih selama lima hari. Lokakarya tersebut bertujuan untuk memperkuat perencanaan kesiapsiagaan rumah sakit, manajemen kasus, pencegahan dan pengendalian infeksi, serta penanganan spesimen, di antara bidang-bidang kerja utama lainnya. Sebanyak 28 petugas kesehatan dari 14 fasilitas jaringan rumah sakit EID berpartisipasi dalam pelatihan tersebut, yang disampaikan melalui diskusi interaktif, kegiatan praktik, dan latihan di atas meja.

Pada akhir bulan tersebut, dari tanggal 25–27 Juni, Kementerian Kesehatan dan WHO mengadakan pertemuan nasional dengan tenaga kesehatan dari 36 provinsi, di mana kerangka kerja operasional WHO untuk PRET disebarluaskan. Pertemuan tersebut juga membahas pemetaan risiko EID, serta risiko EID yang terkait dengan perjalanan internasional, termasuk untuk haji.

“Bekerja sama untuk meminimalkan risiko penularan patogen dari hewan dan lingkungan tidak berarti hanya mengakui perlunya bekerja di luar kesehatan manusia. Namun, benar-benar menggunakan kekuatan dan platform sektor kesehatan manusia untuk mengadvokasi sektor kesehatan hewan, satwa liar, dan lingkungan,” kata David Stanton, Wakil Direktur Kesehatan, USAID Indonesia. “Satu gram pencegahan lebih baik daripada satu kilogram pengobatan, dan kita harus terus berinvestasi dalam upaya dan kapasitas pencegahan dan kesiapsiagaan di Indonesia karena penyakit tidak mengenal batas.”

Setiap kegiatan akan mendukung upaya berkelanjutan Indonesia untuk memperkuat ketahanan kesehatan, yang tercermin dalam keberhasilan penyelesaian Evaluasi Eksternal Bersama kedua terhadap kapasitas inti Peraturan Kesehatan Internasional pada bulan Oktober 2023. Kegiatan-kegiatan tersebut akan menjadi dasar bagi Rencana Aksi Nasional berikutnya untuk Ketahanan Kesehatan, yang akan mulai berlaku pada tahun 2025, dan akan melengkapi Rencana Aksi Bersama One Health yang akan datang.


Kegiatan-kegiatan ini didukung oleh Pemerintah AS melalui USAID.
Ditulis oleh Endang Widuri Wulandari, National Professional Officer (Epidemiologist), WHO Indonesia

Sumber