Joya Patiha, 43 tahun bahasa Indonesia perempuan transgender, pertama kali menyadari bahwa perubahan pola cuaca di kota Bandung yang dikelilingi pegunungan mempengaruhi pendapatannya sebagai pekerja seks satu dekade lalu.

Musim hujan berlangsung lebih lama di seluruh provinsi Jawa Barat, angin bertiup lebih kencang, dan pada tahun-tahun yang buruk, Patiha kehilangan hingga 80% pendapatannya.

Trans perempuan seperti Patiha adalah kelompok yang paling terkena dampak cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim, serta menderita secara tidak proporsional ketika terjadi bencana.

“Tidak ada yang keluar saat musim hujan panjang,” kata Patiha. “Sangat sulit menghasilkan uang dalam cuaca yang tidak dapat diprediksi seperti ini.”

Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan perempuan trans, yang cenderung menghadapi lebih banyak stigma dan marginalisasi dibandingkan laki-laki trans atau kelompok LGBTQ+ lainnya di Indonesia, juga merupakan kelompok yang paling terkena dampak cuaca ekstrem.

Hal ini disebabkan karena banyak perempuan trans, seperti Patiha, yang tidak bisa memasuki perekonomian formal dan bertahan hidup sebagai pengamen dan pekerja seks, pekerjaan yang mengharuskan mereka menjaring klien di luar rumah.

Sherly Wijayanto, seorang perempuan transgender berusia 28 tahun asal Ibu Kota Jakarta, bekerja sebagai pengamen selama kurang lebih tujuh tahun hingga cuaca yang semakin tidak menentu membuatnya mencari pilihan lain.

“Saya tidak ingin lagi menanggung panas dan hujan di jalanan,” kata Wijayanto, yang bergabung dengan kelompok seni trans-led Sanggar Seroja, di mana dia sekarang bernyanyi bersama perusahaan teater dan menjalankan saluran media sosial.

Selain berupaya menyesuaikan mata pencaharian mereka yang rentan terhadap realitas iklim yang baru, para perempuan ini dan kelompok pendukung mereka juga berupaya meningkatkan kesadaran akan tantangan yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrem di negara yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau.

Meskipun komunitas yang tidak gender secara historis diterima di Indonesia, meningkatnya gelombang Islam konservatif di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia telah memicu persekusi anti-LGBTQ+.

Pemandangan udara rumah-rumah yang hancur akibat longsor usai hujan lebat di Bandung, Jawa Barat, pada 4 Maret 2024

(AFP melalui Getty Images)

Individu LGBTQ+ terkadang disalahkan atas masalah terkait perubahan iklim, menurut Arif Budi Darmawan, peneliti di Resilience Development Initiative yang berbasis di Bandung.

“Mereka yang berada di luar kategori biner seringkali dicap dengan kategori ‘menyimpang’, (dan) dikaitkan dengan penyebab permasalahan lingkungan dan bencana,” kata Darmawan, yang telah meneliti bagaimana perubahan iklim berdampak pada trans Indonesia.

Sikap seperti ini telah membuat kelompok LGBTQ+ dikecualikan dari rencana yang dimaksudkan untuk mendukung masyarakat Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim, katanya.

Pemerintah Indonesia mempunyai rencana lima tahun yang menguraikan tujuan pembangunannya dan cara mengelola dampak perubahan iklim. Meskipun rencana ini mencakup ketentuan bagi kelompok rentan, kelompok trans tidak termasuk di antara mereka.

“Perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas disebutkan, namun tidak ada ketentuan untuk kelompok minoritas seksual dan gender,” kata Darmawan. Kurangnya pengakuan pemerintah atas kerentanan mereka berarti para transgender hanya mempunyai sedikit jaring pengaman sosial, tambahnya.

“Perubahan iklim membuat kelompok yang rentan menjadi semakin rentan.”

Beberapa perempuan trans mencari solusi sendiri. Untuk meningkatkan kesadaran mengenai perubahan iklim, Sanggar Seroja mengadakan malam menonton film dan peragaan busana, serta mengadakan diskusi dengan komunitas queer lainnya.

Kelompok ini juga melakukan survei terhadap 80 anggota komunitas trans di Jakarta untuk mengetahui bagaimana perubahan iklim memengaruhi pendapatan, frekuensi penyakit, dan perubahan pengeluaran dari tahun 2021 hingga 2022.

Hampir 93% responden mengalami penurunan pendapatan saat musim hujan, dan 72% mengalami peningkatan pengeluaran.

Koordinator kelompok tersebut, Rikky, yang meminta agar nama depannya hanya disebutkan, mengatakan bahwa cuaca yang tidak dapat diprediksi juga menyebabkan “penyakit, utang, stres, konflik dengan penduduk setempat, dan meningkatnya tingkat kekerasan”.

Seperti penyanyi Wijayanto, Patiha mencari peluang alternatif. Pada tahun 2021, ia bergabung dengan program kewirausahaan dengan LSM Yayasan Srikandi Pasundan yang berbasis di Bandung, yang berfokus pada pemberdayaan perempuan transgender.

LSM tersebut menawarkan panduan untuk memulai usaha kecil, pendampingan dan dukungan dengan tugas-tugas nyata seperti memasarkan produk.

Patiha meluncurkan bisnis pembuatan kue pada tahun yang sama, mempekerjakan tiga teman transgender ketika pesanan menumpuk. Dia juga mulai membuat dan menjual parfumnya sendiri pada bulan Desember lalu.

Kini, ia terbebas dari keanehan awan hujan dan angin kencang yang menguras pendapatannya.

“Usaha kecil saya tidak terpengaruh oleh cuaca yang tidak menentu karena saya mempromosikannya melalui media sosial dan e-commerce,” kata Patiha.

Source link
1712110505