Jakarta (ANTARA) – Deputi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan pada 2023, jumlah kasus tuberkulosis (TB) sensitif obat yang tercatat di Indonesia mencapai 808 ribu.

Dari total jumlah kasus, 88 persen sudah memulai pengobatan.

“TB sensitif obat merupakan kondisi dimana Mycobacterium tuberkulosis masih sensitif terhadap obat anti tuberkulosis yang potensial,” ujarnya pada webinar “Bergerak Bersama Melawan Tuberkulosis Sensitif Obat” pada Kamis.

Menurutnya, meski dampak TBC sensitif obat tidak separah TBC resistan obat, namun penularannya relatif sama.

Pambudi mencatat, jumlah kasus tersebut menunjukkan sejumlah orang terkonfirmasi mengidap TBC sensitif obat, namun belum memulai pengobatan. Keterlambatan pengobatan, kata dia, menimbulkan risiko penularan ke orang lain.

Lebih lanjut dikatakannya, salah satu permasalahan dalam penanganan TBC adalah tingginya angka putus pengobatan.

Hal ini, lanjutnya, disebabkan oleh beberapa hal, terutama jangka waktu pengobatan yang relatif lama, efek samping pengobatan, hambatan akses layanan kesehatan, faktor ekonomi, dan stigma.

Ia menyatakan, jika TBC tidak diobati dengan baik, ada risiko TBC berkembang menjadi TBC yang resistan terhadap obat dan merusak fungsi paru-paru.

Pambudi mencatat, TBC menjadi beban global dan nasional. Di Indonesia, diperkirakan tercatat 121 kasus TBC dan 15 kematian setiap jamnya.

Ia menegaskan, Indonesia telah melakukan upaya signifikan untuk memberantas TBC. Buktinya, kata dia, pada tahun 2023 terdeteksi 821 ribu kasus dari total 1.090.000 penderita TBC yang diproyeksikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Ia mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanganan Tuberkulosis yang mewajibkan setiap fasilitas kesehatan yang mendeteksi kasus TBC melaporkannya ke Dinas Kesehatan dan mencatatnya di Sistem Informasi Tuberkulosis.

Kemudian, untuk mengoptimalkan kualitas layanan dan pelaporan, pemerintah juga melakukan sejumlah upaya lain, seperti menjalin kerja sama dengan rumah sakit di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta, tambahnya.

Menurutnya, tenaga kesehatan merupakan ujung tombak pengobatan TBC, misalnya dalam hal diagnosis, penemuan kasus, pengobatan, dan edukasi kepada masyarakat. Mereka juga berperan sebagai pendukung pasien agar tetap semangat menyelesaikan pengobatan secara penuh.
Harapannya semua pihak, termasuk mitra dan pihak swasta, bisa bergerak dan bersinergi untuk menanggulangi permasalahan TBC, ujarnya.

Berita Terkait: Kementerian menyerukan integrasi pengobatan TBC dan pengobatan stunting pada anak-anak
Berita Terkait: Pengobatan TBC yang resistan terhadap obat yang lebih sederhana didesak untuk mencegah krisis: Resmi

Penerjemah : Mekah Yumna, Raka Adji
Redaktur: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2024

Source link
1712247536