SURABAYA, 1 ​​April — Di luar masih gelap gulita ketika ibu rumah tangga asal Indonesia, Sutinah, pergi ke kantor polisi setempat pada suatu pagi di bulan lalu, dengan harapan dapat menghindari antrian dan memanfaatkan skema pemerintah yang menawarkan beras dengan harga terjangkau.

Meskipun cuaca kering yang dipicu oleh El Nino telah menyebabkan kelangkaan beras dan membuat harga mencapai rekor tertinggi, pria berusia 52 tahun asal kota Pasuruan, Jawa Timur, ini masih terkejut melihat ratusan warga dengan kondisi serupa sudah mengantri dengan sabar.

“Sampai di sini sudah ramai, kami masih harus antri. Kami tidak punya pilihan lain karena harga beras di pasaran sangat mahal,” kata Sutinah, seperti kebanyakan orang Indonesia, hanya menggunakan satu nama.

Ibu dua anak ini mengantri selama dua jam untuk membeli dua karung beras seberat 5 kg seharga 102.000 rupiah (US$6,51) – penghematan sekitar 50.000 rupiah dibandingkan harga di supermarket dan pasar.

Iklan

Indonesia mampu melakukan swasembada beras pada tahun 1980an sebelum lahan pertanian digunakan untuk membangun perumahan bagi penduduk yang jumlahnya terus meningkat, yang kini berjumlah lebih dari 270 juta orang.

Meskipun demikian, lebih dari 90 persen keluarga Indonesia masih mengonsumsi nasi setiap hari, yang menyediakan lebih dari separuh kalori harian mereka.

Konsumsi beras per kapita tahunan di negara Asia Tenggara ini mencapai sekitar 95 kg (210 lb) – jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata konsumsi tahunan karbohidrat lain seperti jagung, ubi jalar, kentang, dan singkong, kata Rajendra Aryal, dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) perwakilan di Indonesia dan Timor-Leste.

Iklan

Begitu pentingnya bahan pokok bagi perekonomian, budaya dan masyarakat Indonesia sehingga tingginya inflasi pangan berkontribusi pada jatuhnya Presiden Suharto pada tahun 1998.

Tahun lalu relatif panas karena pola cuaca El Nino, dan musim kemarau yang berkepanjangan di beberapa wilayah Indonesia menyebabkan produksi beras turun sekitar 18 persen, kata Aryal. Kepulauan yang luas ini akan memasuki musim kemarau lagi bulan depan.

“Kondisi tersebut dapat menyebabkan kenaikan harga beras dan melemahnya daya beli masyarakat, terutama berdampak pada segmen masyarakat miskin, termasuk petani kecil,” kata Aryal.

Tidak ada nasi? Tidak dimakan

Orang Indonesia sering mengatakan jika Anda belum makan nasi, berarti Anda belum makan, dan biji-bijian bukan hanya sumber makanan yang relatif murah bagi sebagian besar rumah tangga, namun juga bagian dari identitas budaya negara.

Padi telah menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya Indonesia sejak zaman kuno, dan budidaya padi bahkan dapat dilihat di kompleks Candi Borobudur yang terkenal pada abad ke-9 di Jawa Tengah, kata Ika Krishnayanti, staf hubungan internasional di kelompok tani Aliansi Tani Indonesia. .

“Beras adalah salah satu komoditas pertanian terpenting di Indonesia… simbol budaya dan tradisi,” kata Krishnayanti kepada Thomson Reuters Foundation.

Sawah juga merupakan bagian khas dari lanskap Indonesia, terutama di daerah yang populer dengan wisatawan, seperti Bali dan Jawa Tengah, kata Jongsoo Shin, direktur Asia di International Rice Research Institute (IRRI).

“Meningkatnya harga beras dan berkurangnya ketersediaan dapat menyebabkan kerawanan pangan, terutama bagi rumah tangga berpendapatan rendah. Hal ini dapat menimbulkan rasa lapar, cemas, dan frustasi, sehingga meningkatkan risiko keresahan dan protes sosial,” ujarnya.

“Petani yang mengalami gagal panen kehilangan pendapatan dan mungkin menghadapi utang, yang selanjutnya berkontribusi terhadap kesulitan ekonomi dan ketidakstabilan sosial,” kata Shin, seraya menambahkan bahwa Indonesia akan mengimpor hingga 5 juta ton beras pada tahun 2024.

Namun meningkatnya ketergantungan pada impor beras dapat membuat Indonesia lebih rentan terhadap fluktuasi harga dan gangguan rantai pasokan di negara-negara pengekspor, katanya.

“Mengimpor beras dalam jumlah besar dapat membebani anggaran pemerintah dan melemahkan sektor pertanian, yang sangat penting bagi lapangan kerja di pedesaan dan ketahanan pangan,” tambah Shin.

Teknologi dapat membantu petani menghadapi suhu yang melonjak

Untuk mengatasi kekurangan beras, Presiden Indonesia Joko Widodo tahun lalu merekrut tentara untuk membantu penanaman dan distribusi pupuk bersubsidi.

Menyadari tekanan dari kenaikan harga beras kepada konsumen dan lebih dari 15 juta rumah tangga yang menanam pangan, pemerintah Indonesia juga mulai menjual beras dengan potongan harga dan memberikan bantuan tunai kepada keluarga yang paling terkena dampaknya.

Romauli Panggabean, ekonom lingkungan untuk sistem pangan berkelanjutan di lembaga pemikir World Resources Institute Indonesia menyerukan lebih banyak diversifikasi sumber karbohidrat untuk membantu masyarakat Indonesia lebih tangguh terhadap fluktuasi harga beras.

Ia mencatat bahwa Badan Pangan Nasional mendorong masyarakat untuk mengonsumsi sumber karbohidrat lokal lainnya seperti jagung, singkong, kentang, pisang, sorgum, dan sagu.

Mendistribusikan varietas benih padi yang tahan kekeringan kepada petani di daerah yang terkena dampak juga penting, kata Shin dari IRRI.

Dalam jangka panjang, pemerintah harus terus berinvestasi dalam meningkatkan infrastruktur irigasi, termasuk merehabilitasi saluran yang ada dan membangun saluran baru, untuk meningkatkan pengelolaan air dan mengurangi ketergantungan pada curah hujan, tambahnya.

Sistem peringatan dini untuk memantau kondisi cuaca dan memberikan informasi tepat waktu kepada petani tentang potensi kekeringan, juga memungkinkan mereka mengambil tindakan pencegahan.

Hal ini harus dibarengi dengan pemberian pelatihan kepada petani mengenai praktik pertanian yang toleran terhadap kekeringan, teknik konservasi air dan penyimpanan pasca panen, kata Shin, seraya menambahkan bahwa skema asuransi tanaman dan diversifikasi tanaman memberikan keamanan yang lebih besar.

Teknologi merupakan bagian penting dari solusi ini, kata para analis, dengan drone dan sensor yang mampu memantau tanaman, kelembaban tanah, kondisi cuaca dan sistem irigasi, serta platform digital yang memungkinkan petani untuk berbagi informasi dan praktik terbaik.

Aplikasi juga dapat membantu konsumen menemukan penawaran beras terbaik.

Di Lamongan, Jawa Timur, salah satu daerah penghasil beras di Indonesia, Salimah, seorang petani berusia 70 tahun, mengatakan bahwa cuaca ekstrem telah membuat kehidupan menjadi lebih sulit.

Kekeringan yang berkepanjangan memaksanya untuk menanam lebih banyak tanaman yang tahan terhadap cuaca kering, seperti jagung atau wijen, meski seringkali harganya lebih mahal.

“Saya menanam kacang hijau untuk menjaga penghasilan saya… sebagian besar petani membiarkan lahannya kosong karena cuaca terlalu panas,” katanya. — Yayasan Thomson Reuters

Source link
1711937422