“Berpikir besar berarti mengakui posisi unik Indonesia yang didorong oleh melimpahnya hasil alam yang masih dapat memberikan dampak signifikan,” kata pendiri Krakakoa, Sabrina Mustopo. Jakarta Post pada tanggal 3 Mei, merenungkan asal mula perusahaan coklatnya 11 tahun yang lalu.
Di tengah semangat industrialisasi di Indonesia, Sabrina menyadari potensi yang belum dimanfaatkan dalam pengolahan produk alami negara, seperti kakao.
Biji kopi sering kali “diabaikan” sebagai komoditas dalam penciptaan nilai, katanya, seraya menekankan pentingnya isu-isu mendesak seperti perubahan iklim dan produksi yang beretika.
Indonesia adalah produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, namun coklatnya masih belum dikenal di kancah global, kata Sabrina.
Kurangnya pengakuan terhadap produk lokal sementara coklat kelas atas diimpor dari Eropa memicu visi Sabrina: “Sebagai orang Indonesia, saya bertanya-tanya: di mana semua coklat Indonesia?”
Sebagian besar coklat dunia dibuat oleh produsen asing berskala besar dengan menggunakan mesin besar dan menciptakan rasa yang seragam, jelasnya, sementara produk kakao Indonesia yang bersumber dari berbagai daerah di nusantara masih kurang populer.
Sabrina mencoba menjelaskan mengapa biji kakao Indonesia dianggap lebih rendah dibandingkan varietas kakao Afrika, namun ia menambahkan bahwa ini adalah masalah yang kompleks dan “sulit untuk dinilai.”