JAKARTA – Bertahun-tahun bekerja di pabrik memungkinkan Ibu Sari Sartika Dewi untuk mendaftar studi hukum di sebuah universitas swasta di Karawang, Jawa Barat, pada tahun 2018.

Berhasil menyeimbangkan pekerjaan tetap dan studinya, ia memperoleh gelar sarjana pada tahun 2022. Dengan itu, janda berusia 34 tahun ini berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.

Namun, menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi barunya mungkin sulit dilakukan di Indonesia, yang meskipun merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, menghadapi tugas berat dalam menyediakan pekerjaan berkualitas bagi generasi mudanya.

Majikan Sari di pabrik, seorang pembuat sepatu asing yang memproduksi sepatu kets untuk merek global, membayarnya sebesar Rp 5,2 juta (S$440) sebulan, setara dengan upah minimum bulanan di wilayah tersebut. Jumlah tersebut juga mencakup jaminan sosial.

“Saya menganggap tempat kerja saya saat ini sebagai batu loncatan. Saya ingin melakukan lompatan, tapi tidak tahu caranya,” kata Sari kepada The Straits Times. “Saya sadar ribuan orang sedang mencari pekerjaan. Ini membuatku berpikir dua kali untuk pindah.”

Tidak seperti kebanyakan rekan-rekannya di Indonesia, Ibu Sari memiliki pekerjaan “kelas menengah”, yang memberikan upah yang mampu memenuhi konsumsi kelas menengah dan menawarkan tunjangan serta perlindungan jaminan sosial.

Pada tahun 2023, pekerjaan kelas menengah dibayar sekitar 5,2 juta rupiah setiap bulan, menurut Dr Maria Monica Wihardja, peneliti tamu di ISEAS – Yusof Ishak Institute dan mantan ekonom Bank Dunia.

Menyediakan lapangan kerja bagi kelas menengah merupakan tantangan bagi Indonesia dalam upayanya untuk beralih dari negara berpendapatan menengah ke atas menjadi negara berpendapatan tinggi, menurut Bank Dunia yang berbasis di Washington.

Banyak anak muda di Indonesia yang sering terjebak dalam pekerjaan kasar setelah menyelesaikan pendidikannya.

Di pusat perbelanjaan, stasiun kereta api dan ruang publik lainnya, anak-anak muda yang bekerja sebagai petugas kebersihan merupakan pemandangan yang lumrah.

Namun, bagi masyarakat berusia 25 hingga 59 tahun seperti Ibu Sari, tingkat pengangguran adalah 3,07 persen, berada di bawah tingkat pengangguran nasional sebesar 5,3 persen, dimana terdapat 7,9 juta orang yang menganggur dari 147,7 juta angkatan kerja, menurut Statistik. Indonesia.

Sebaliknya, angkanya jauh lebih buruk bagi generasi muda. Pada Agustus 2023, tingkat pengangguran kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun adalah 19,4 persen.

Bagi petugas kebersihan kereta api Niki Andriyawan, 24, yang merupakan lulusan sekolah kejuruan, padatnya angkatan kerja dan persaingan pekerjaan yang ketat telah membuatnya “menerima tempatnya”.

“Saya mempunyai cita-cita untuk mendapatkan pekerjaan baru karena saya ingin bekerja di lingkungan yang baru. Tapi sekarang sulit mencari pekerjaan. Lulusan perguruan tinggi pun tidak bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan,” kata ayah dari bayi berusia tujuh bulan yang berpenghasilan sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya.

Tingkat pengangguran kaum muda di Indonesia, yang pada tahun 2022 sebesar 13 persen, lebih tinggi dibandingkan negara tetangganya, seperti Filipina (6,3 persen), Vietnam (7,4 persen) dan Thailand (4,5 persen).

Sebaliknya, negara berpendapatan tinggi memiliki pendapatan nasional bruto (GNI) minimal US$13.846 (S$18.700) atau lebih per kapita. PNB per kapita Indonesia mencapai US$4.580 pada tahun 2022.

Source link
1711963821