Jakarta, Indonesia — Empat anggota Kabinet Indonesia memberi kesaksian pada hari Jumat bahwa tidak ada aturan yang dilanggar dalam pendistribusian bantuan pemerintah selama ini pemilihan kampanye, meskipun ada klaim dari dua calon presiden yang kalah bahwa dana tersebut digunakan untuk kepentingan pemenang pemilu.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memenangkan pemilu dengan 58,6% suara, atau lebih dari 96 juta surat suara, lebih dari dua kali lipat jumlah yang diperoleh masing-masing dari dua runner-up dalam pemilu tiga arah, menurut Komisi Pemilihan Umum.

Kandidat yang kalah – mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo – mengatakan pemilu tersebut dirusak oleh penyimpangan dan meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hasil pemilu dan memerintahkan pemungutan suara ulang dalam tuntutan hukum yang terpisah.

Mereka mengatakan kemenangan Subianto adalah hasil dari kecurangan yang meluas dan bahwa Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya melanggar hukum dan norma untuk mendukung Subianto, dengan bantuan sosial pemerintah digunakan sebagai alat untuk membeli suara.

Presiden Indonesia diharapkan tetap netral dalam pemilu untuk menggantikannya, namun Subianto, mantan saingan Widodo yang dua kali kalah dalam pemilu sebelum bergabung dengan pemerintahannya, mencalonkan diri sebagai penggantinya. Ia bahkan memilih putra Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presidennya, meski Raka tidak memenuhi persyaratan konstitusi bahwa para calon harus berusia minimal 40 tahun.

Baswedan dan Pranowo berpendapat bahwa Raka seharusnya didiskualifikasi dan meminta pengadilan melarangnya melakukan pemungutan suara ulang. Sebelum pemilu, Raka diberikan pengecualian kontroversial terhadap persyaratan usia minimum oleh Mahkamah Konstitusi, yang saat itu dipimpin oleh Anwar Usman, saudara ipar Widodo. Usman kemudian terpaksa mengundurkan diri sebagai hakim agung karena gagal mengundurkan diri.

Bantuan sosial yang besar dari pemerintah dicairkan di tengah kampanye – jauh lebih besar daripada jumlah yang dikeluarkan selama pandemi COVID-19 – dan Widodo mendistribusikan dana secara langsung di sejumlah provinsi.

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang berjumlah delapan orang memanggil Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk mendapatkan disposisi mereka, kata Ketua Mahkamah Agung Suhartoyo, yang seperti kebanyakan orang Indonesia menggunakan nama tunggal.

Effendy membantah bantuan pemerintah yang diberikan pada Januari hingga Juni 2024 menguntungkan Subianto pada Pilpres Februari, dan mengatakan bantuan itu disalurkan untuk mencapai target pengentasan kemiskinan ekstrem.

Hartarto, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, bagian dari koalisi pendukung Subianto, mengatakan penurunan produksi beras akibat fenomena El Niño membuat pencairan bansos menjadi penting. Ia mengatakan bantuan tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari kenaikan harga komoditas akibat El Niño dan gangguan rantai pasokan global.

“Pemerintah harus menerapkan strategi untuk menjaga ketersediaan pasokan pangan dan daya beli masyarakat,” kata Hartarto seraya menambahkan bahwa program tersebut transparan dan akan terus dilaksanakan.

Menteri Keuangan Indrawati, mantan direktur pelaksana Bank Dunia, mengatakan bantuan tersebut merupakan bagian dari anggaran pemerintah dan telah disetujui oleh parlemen.

“Realisasi dan pola pembayarannya tidak berbeda dibandingkan periode enam tahun sebelumnya,” kata Indrawati. Dia mengatakan, penetapan APBN 2024 sudah rampung sebelum KPU mengumumkan bakal calon presiden.

Kasus ini akan diputuskan oleh delapan hakim agung, bukan oleh pengadilan yang beranggotakan sembilan orang, karena Usman, yang masih menjabat sebagai hakim asosiasi, harus mengundurkan diri.

Subianto sendiri dua kali pergi ke pengadilan untuk menggugat hasil pemilu yang ia kalahkan dari Widodo, namun pengadilan menolak klaimnya karena tidak berdasar. Penolakannya menerima hasil pemilu presiden 2019 berujung pada kekerasan yang menewaskan tujuh orang di Jakarta.

Sidang dimulai pada 28 Maret dan putusan yang diperkirakan akan dikeluarkan pada 22 April, tidak dapat diajukan banding.

Source link
1712313029