Pada pemilihan presiden bulan Februari lalu, penggunaan agama sebagai motivator untuk meraih suara tampaknya menurun di Sumatera Utara. Pergeseran ini mencerminkan kecenderungan nasional untuk fokus pada pragmatisme dalam politik, dibandingkan kesalehan.

Dua bulan setelah masyarakat Indonesia memberikan suaranya, masih ada tuduhan penyimpangan pemilu yang belum terselesaikan, termasuk penyelidikan terhadap pemilu tersebut dugaan penyalahgunaan dana pemerintah dan ratapan umum tentang kemunduran demokrasi dalam wacana elite pada pemilu presiden (PE) dan pemilu (GE). Kurangnya perhatian diberikan pada peran politik identitas atau ketiadaan politik identitas, dalam pemilu yang oleh banyak orang dianggap sebagai pemilu paling kontroversial di era pasca reformasi (sejak 1998-99). Tampaknya tidak adanya peran agama sebagai faktor dalam pemilu baru-baru ini merupakan suatu hal yang aneh, mengingat agama adalah faktor yang paling signifikan alat mobilisasi politik dalam PE 2019.

Dengan 15 juta penduduknya yang terdiri dari 67 persen Muslim, 31 persen Kristen, dan lebih dari 2 persen beragama Buddha, komposisi agama di Sumatera Utara melambangkan multi-agama di Indonesia. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, provinsi dengan populasi terbesar keempat di negara ini adalah tempat lahirnya agama Kristen, dan merupakan komunitas Kristen terbesar kedua di 38 provinsi. Penganut agama yang berbeda secara bersamaan berasal dari berbagai etnis yang melintasi batas-batas agama; Sumatera Utara secara umum harmonis meski memiliki keberagaman.

Terkait pemilu, Sumut telah memilih berdasarkan agama sebelum tahun 2024.

Pengamatan penulis ini terhadap provinsi tersebut gubernur tahun 2018 Dan PE 2019 mengungkapkan perpecahan geografis antara distrik yang mayoritas penduduknya Muslim di pesisir timur dan distrik yang mayoritas penduduknya beragama Kristen di pesisir barat. Kelompok pertama banyak memilih calon yang mewakili konservatisme Islam, yaitu calon kandidat Prabowo Subianto pada PE 2019 dan pemenangnya. Edy Rahmayadi untuk pemilihan gubernur. Sebaliknya, Pesisir Barat justru menguat di belakang pihak yang mengusung paham pluralisme agama, yakni pemenang Joko Widodo pada Pilpres 2019 dan tim Djarot-Sihar yang kalah pada Pilpres 2018 namun merupakan pasangan calon gubernur yang di dalamnya terdapat calon beragama Kristen, Sihar Sitorus.

Dari segi partai, pemilihan gubernur Sumatera Utara pada tahun 2018 mencerminkan polarisasi tahun 2019 di tingkat nasional. Koalisi yang lebih berhaluan Islam yang dipimpin oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung Prabowo menang telak di distrik-distrik Muslim melawan koalisi pluralis yang dipimpin oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kandidat PDI-P adalah Widodo, yang memenangkan distrik Kristen.

Oleh karena itu, hal yang aneh terjadi di Sumatera Utara pada tahun 2024 ketika demografi agama tampaknya memainkan peran yang kurang signifikan dalam membentuk preferensi politik pemilih lokal. Kabupaten-kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan Kristen, semuanya memberikan suara terbanyak untuk Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, kecuali tiga daerah pemilihan yang mayoritas penduduknya beragama Islam: Kota Tanjung Balai, Padang Sidempuan, dan Mandailing Natal. Yang terakhir memilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, pasangan yang paling jelas berorientasi Islam.

Ada beberapa kemungkinan penjelasan.

Pertama, kehadiran tiga pasangan calon di PE 2024 mengurangi pentingnya agama sebagai alat mobilisasi. Agama nampaknya lebih bermanfaat atau menonjol dalam kompetisi head-to-head. Polarisasi politik – yang didefinisikan sebagai perbedaan sikap politik menjadi dua (atau lebih) kubu yang saling eksklusif – dipicu oleh perpecahan sosial yang menonjol, seperti agama. Polarisasi menekan perbedaan “dalam kelompok” dan menyederhanakan banyak varian yang dimiliki kedua kelompok menjadi satu perbedaan. “Perbedaan” tersebut kemudian dibebankan secara negatif dan digunakan untuk mendefinisikan “Yang Lain” (yaitu, tim atau kandidat politik yang bersaing). Agama atau religiusitas bisa menjadi perbedaan besar. Pemilu 2018 dan 2019 di Sumatera Utara, di mana perbedaan agama didakwa secara negatif dan digunakan untuk mendefinisikan dua kubu yang bersaing, dapat dianggap sebagai kasus polarisasi mendalam dalam persaingan dua kubu.

Terkait pemilu, Sumut telah memilih berdasarkan agama sebelum tahun 2024.

Di PE 2024 ada lomba tiga arah, satu jajak pendapat keluar menunjukkan bahwa pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD secara umum dianggap mewakili pluralisme. Presiden Widodo mendukung Prabowo-Gibran; dia tidak dikenal mewakili konservatisme Islam. PDI-P mendukung Ganjar-Mahfud dan kedua orang tersebut memiliki ikatan yang berarti dengan Nahdlatul Ulama (NU), Organisasi Muslim moderat terbesar di Indonesia. Dengan demikian, kedua pasangan pada dasarnya memiliki basis dukungan pluralis yang sama.

Sebaliknya, Anies-Muhaimin dinilai sebagai mewakili kepentingan Islam dan Islamis. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh hubungan Anies di masa lalu dengan organisasi-organisasi Muslim konservatif yang kampanye berbasis agamanya menyebabkan dia memenangkan pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017. Namun karena Muhaimin juga merupakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai memperjuangkan Islam moderathal ini kemungkinan besar mengurangi intensitas mobilisasi agama konservatif di PE2024.

Akibatnya, retorika keagamaan konservatif dalam kampanye PE di Sumatera Utara kurang. Wawancara penulis dengan tim kampanye Anies-Muhaimin di Medan mengungkapkan bahwa mereka lebih memprioritaskan isu pemerintahan dibandingkan agama. Slogan “perubahan” mereka mencerminkan kekhawatiran akan melemahnya supremasi hukum dan merajalelanya praktik-praktik tidak demokratis seperti politik dinasti. Apakah sikap ini menggarisbawahi preferensi terhadap masyarakat Islam yang lebih konservatif, terdapat perbedaan nyata dalam kurangnya retorika keagamaan dalam suara-suara oposisi dari PE2019 hingga PE2024.

Kedua, ketiga calon presiden tersebut memiliki kredo Islam. Keterhubungan Anies dan Prabowo di masa lalu dengan kelompok-kelompok Islam konservatif selama kampanye masa lalu membuat mereka tidak asing lagi di kalangan pemilih yang memprioritaskan kredibilitas Islam para kandidat ketika memilih. Mahfud terhubung dengan baik dengan NU melalui keluarganya sedangkan istri Ganjar merupakan cucu dari a tokoh terkemuka NU.

Yang ketiga dan yang paling penting di Sumatera Utara, para calon PE menunjukkan rasa hormat kepada para pemimpin Islam di provinsi tersebut. Ganjar Dan Anies secara terpisah mengunjungi Tuan Guru Babussalam Besilam. Dia adalah pemimpin Tarekat Naqsyabandiah, seorang tokoh Islam terkemuka tasawwuf Tarekat (Sufi), milik siapa preferensi politik sempat mempengaruhi pemilih pada Pilgub 2018.

Terlebih lagi, pemerintahan Widodo melarang pada tahun 2024, organisasi-organisasi Islam garis keras telah mengurangi kapasitas dan kekuatan mereka untuk memobilisasi pemilih secara signifikan.

Keempat, bahwa Prabowo, yang dengan sepenuh hati didukung oleh kelompok Islam konservatif pada PE2019, bersedia bergabung dengan pemerintahan mantan saingannya, Widodo, kemungkinan besar akan membuat banyak pemilih di Sumatera Utara (dan nasional) enggan memilih berdasarkan agama atau ideologi. Perolehan suara untuk Prabowo-Gibran lebih “pragmatis” tindakan yang memaksimalkan kesejahteraan.

Apakah tidak adanya pemilu berbasis agama berdampak baik bagi demokrasi di Sumatera Utara dan Indonesia? Di permukaan, para pemilih tampaknya tidak lagi tertarik dengan narasi kampanye melemahkan minoritas agama nampaknya merupakan perkembangan yang positif.

Namun tidak adanya pemilu berbasis agama tidak berarti pemilih di Indonesia mengalihkan perhatian mereka pada tata kelola pemerintahan yang baik, yang penting bagi kemajuan demokrasi yang substantif. Sebaliknya, para pemilih fokus pada keuntungan jangka pendek seperti yang diperoleh Prabowo “makan siang gratis” janji dan nyata praktik pembelian suara seperti pengiriman paket sembako (dibagikan pada kunjungan Widodo sehari setelah putranya Gibran dan Prabowo mengunjunginya demonstrasi di Sumatera Utara). Pemilih malah terkesan toleran terhadap aparatur negara. keberpihakan dan mengandalkan false atau informasi yang dangkal dari media sosial untuk menginformasikan pilihan mereka.

Sementara hasil pemilu legislatif 2024 menunjukkan masih ada sebagian yang memilih caleg yang turut membantu meringankan permasalahan sosial yang ada di provinsi tersebutPerilaku memilih masyarakat Sumut dan Indonesia pada PE2024 menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia ke depan.

2024/114

Sumber