Di negara tetangga, Indonesia, kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam politik dan konservatisme agama, terutama menjelang pemilu bulan lalu, tampaknya sudah mereda.

Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak menyerah pada penggunaan politik identitas untuk mengumpulkan suara, kata para pengamat.

Ketiga pasangan tersebut adalah Mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang berpasangan ketua Partai Kebangkitan Bangsa Islam (PKB) Muhaimin Iskandar; Menteri Pertahanan saat ini Prabowo Subianto dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka; serta mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mencalonkan diri bersama mantan anggota PKB Mahfud MD.

Pasangan pemenangan, Pak Prabowo dan Pak Gibran, tidak pernah menjadi anggota partai Islam, berbeda dengan dua paslon lainnya.

Ada kekhawatiran bahwa pemilu ini akan dirusak oleh konservatisme agama, terutama karena politik identitas mendominasi pemilu presiden dan legislatif tahun 2019 serta pemilu gubernur Jakarta tahun 2017.

Ujang Komarudin, pakar Islam politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, yakin beberapa kelompok politik ingin menegakkan ideologi Islam tetapi kesulitan untuk menang dalam pemilu karena masyarakat Indonesia heterogen.

“Secara obyektif memang ada orang atau kelompok yang memperjuangkan ideologi Islam atau Islam politik.

“Tapi kalau kita lihat masyarakat Islam, Islam sendiri di sini heterogen. Tidak homogen,” kata Pak Ujang.

Meskipun sekitar 87 persen dari 270 juta penduduk Indonesia adalah Muslim, banyak yang tidak taat, tambah Ujang.

Banyak masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam moderat atau beragama Islam sesuai dengan kartu identitasnya, namun tidak benar-benar mengamalkan agama tersebut.

“Ini berdampak pada perilaku pemilih dan pilihannya (saat pemilu),” kata Pak Ujang.

Selain itu, para analis mengatakan kepada CNA bahwa perbedaan ideologi dari berbagai kelompok politik Islam dan ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan dukungan arus utama serta teori filosofis dasar Pancasila tampaknya merupakan upaya untuk melawan ancaman meningkatnya konservatisme di Indonesia.

PERBEDAAN IDEOLOGI YANG MENGATUR PARTAI POLITIK ISLAM

Pak Ujang berpendapat bahwa partai politik Islam di Indonesia tidak bersatu dan memiliki ideologi yang berbeda. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang memiliki partai Islam dominan, Parti Islam Se-Malaysia (PAS).

“Misalnya PKB dan Partai Amanat Nasional (PAN), apakah berfungsi berdasarkan ideologinya? Saya kira tidak,” kata Pak Ujang.

“Mereka berfungsi berdasarkan kepentingan, baik saat berkoalisi maupun berkampanye. Mereka tidak menonjolkan nilai-nilai Islam tetapi nilai-nilai umum atau universal jika berbicara tentang Islam.”

Saat ini terdapat sembilan partai politik di parlemen Indonesia.

Lima di antaranya merupakan partai nasionalis, dan empat di antaranya berideologi Islam, yakni PKB, PAN, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Hanya PKB yang menunjukkan peningkatan suara signifikan pada pemilu legislatif bulan lalu, sehingga menjadikannya partai terbesar keempat di parlemen 2024-2029 mendatang yang anggotanya akan dilantik pada Oktober mendatang.

Partai ini merupakan partai terbesar kelima di parlemen berdasarkan hasil pemilu 2019 – di belakang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Gerindra, dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

“Soal hasil pemilu legislatif, alhamdulillah. Kami di PKB bersyukur.

“Karena kami dipimpin oleh Pak Muhaimin, yang merupakan calon wakil presiden dari Pak Anies, kami menerima dampak yang signifikan,” kata Zainul Munasichin, sekretaris unit pemenang pemilu PKB.

Efek coattail adalah kecenderungan seorang tokoh partai politik untuk menarik suara calon lain dari partai yang sama.

Dalam pemilu baru-baru ini, Anies dan Muhaimin didukung oleh koalisi PKB, PKS, dan partai nasionalis Nasdem.

Sebelum koalisi terbentuk, sejumlah pengamat menilai PKB dan PKS tidak bisa bekerja sama karena keduanya menganut agama Islam yang berbeda. Namun Zainul dari PKB mengatakan kepada CNA bahwa aliansi partainya dengan PKS “murni taktis”.

Sementara itu, PAN – yang mendukung Pak Prabowo dan Pak Gibran – didirikan oleh orang-orang yang tergabung dalam organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah.

Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan kinerja PAN sedikit lebih baik pada pemilu Februari dibandingkan lima tahun lalu karena adanya persepsi bahwa PAN adalah sayap kanan karena partisipasi pendirinya dalam acara-acara yang dihadiri oleh kelompok Islam garis keras.

Partai Islam yang tersisa di parlemen – PPP – adalah yang tertua dan telah berdiri selama 51 tahun.

Partai ini merupakan salah satu dari tiga partai politik pada masa rezim Suharto, bersama dengan partai nasionalis Golkar dan PDI, yang sekarang bernama PDI-P.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, hal ini telah kehilangan pijakannya.

Muhammad Romahurmuziy, ketua dewan penasihat PPP, mengaitkan hal ini dengan banyak faktor.

Salah satunya karena tidak mempunyai tokoh dan mesin politik yang kuat.

“Kami harus melakukan reorientasi besar-besaran pada kongres partai berikutnya,” kata Romahurmuziy kepada CNA, seraya menambahkan bahwa reorientasi tersebut dijadwalkan pada bulan Desember tahun depan namun dapat dimajukan karena hasil pemilu terkini.

Berdasarkan hasil resmi yang dikeluarkan KPU, PPP tidak memenuhi ambang batas minimal 4 persen untuk masuk DPR. Ini adalah pertama kalinya sejak berdirinya partai tersebut pada tahun 1973, partai tersebut tidak memiliki perwakilan di parlemen, meskipun PPP akan menggugat hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Pak Adi Prayitno, pakar politik Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menduga partai beroperasi berdasarkan kepentingan, bukan ideologi, karena Indonesia menganut sistem presidensial multi partai.

“Ada kecenderungan semua orang hanya mengejar suara elektoral,” kata Pak Adi.

“Di Indonesia, segala sesuatunya diukur berdasarkan kepentingan politik, bukan ideologi.”

PANCASILA CARA MENGENDALIKAN POLITIK IDENTITAS

Sejalan dengan hal tersebut, Pak Ujang dari Universitas Al Azhar mencatat bahwa konservatisme Islam bukanlah nilai jual bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

“Saya kira konservatisme tidak menjadi ancaman di Indonesia karena demokrasi di Indonesia dibangun di atas Pancasila,” kata Pak Ujang.

Pancasila merupakan ideologi negara Indonesia yang terdiri dari lima asas: Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan dan kemanusiaan yang beradab, persatuan negara, demokrasi yang berpedoman pada kebijaksanaan batin antar wakil, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Dan Pancasila adalah rumah bagi seluruh agama di Indonesia, yang menciptakan kerukunan,” kata Pak Ujang.

Bapak Ahmad Khoirul Umam, dosen politik dari universitas Islam Paramadina di Jakarta, sependapat.

“Inilah yang membuat karakter Islam di Indonesia sangat berbeda dengan daerah lain,” ujarnya.

Umam mengatakan Pancasila telah menjadi identitas Indonesia, yang sejarahnya dimulai sejak presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Ahmad Suaedy mengatakan kepada CNA, Pancasila menjadi rujukan setiap kelompok politik karena mencakup berbagai ideologi.

“Jadi di Indonesia banyak sekali unsur agama yang digunakan oleh negara. Tapi mereka bukan bagian dari simbol politik karena Pancasila,” kata Pak Ahmad.

Di negara dengan sekitar 1.300 kelompok etnis yang berbeda, para analis percaya bahwa Pancasila telah menjadi elemen penting dalam menjaga persatuan negara.

“Kami bersyukur Indonesia memiliki Pancasila yang mempersatukan umat berbeda agama. Jadi tidak ada alasan Islam menjadi dominan dan menjadi ancaman,” kata Pak Ujang.

Source link
1711940377